Rabu, 27 Januari 2016

Teruntuk kamu yang selalu ada disampingku

Ini malam kedua belas sejak terakhir kita bertemu. Namun terasa seperti selamanya. Sedangkan waktu bersama kamu, seperti durasi selamanya dibagi selamanya lalu diakarkan dengan selamanya. Lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan seekor Hummingbird untuk melancarkan satu kepakan sayap.

Januari boleh berlalu. Namun sebelum januari yang baru datang, aku tetap merasa seperti baru jatuh cinta. Jika ada ceruk cawan terbesar dari langit, maka akan retak untuk menampung rindu yang beringas ini. Jika ada awan yang pantas menurunkan hujan paling romantis, maka dia akan gigit jari mendengar setiap doa lirih yang di dalamnya terselip namamu.

Satu hal paling aku benci dari pertemuan kita adalah debar di dada yang rasanya seperti baru pertama jatuh cinta. Satu hal paling berat ketika bertemu kamu adalah pada saat perjalananku pulang kembali ke bumi. Bumiku yang tanpa kamu.

Dari dalam sini terlihat hujan deras. Jika orang-orang bersuyukur tetap di bawah atap, sedang kepalku harus bergemeretak karena diri ini tak dapat menjangkaumu dalam dekap.

Jarak.

Jarak ada untuk ditempuh. Bukan untuk dikeluh karena jauh.

Aku selalu percaya semua yang indah tak pernah bisa didapat dengan mudah. Semua yang berarti, menuntut untuk korbankan diri. Kita, pergi ke arah yang berlawanan, bukan untuk menjunjung sebuah perpisahan. Kita hanya sedang memantaskan. Kita harus mencoba mengarungi belantara sendiri. Menghadapi masalah yang rumit dengan kemampuan diri.

Bersamamu, segalanya terasa lebih mudah. Pasti.

Namun aku selalu ingat apa yang hidup ajarkan, yang selalu ayah katakan,

“Kita tak bisa selalu mendapatkan apa yang kita mau di waktu yang kita inginkan. Tuhan lebih tahu. Doamu bukan tidak dikabulkan, hanya saja digantikan dengan yang lebih indah, atau disimpan sampai waktu yang lebih indah.”

Aku selalu percaya waktu itu akan datang. Waktu di mana kita menghadapi kerasnya dunia bersama. Waktu di mana kita bisa menari di bawah hujan bukannya menunggu badai reda. Waktu di mana aku merasa baik-baik saja ketika genggam tanganmu ada.

Layaknya sebuah mutiara, aku harus menyelam lebih dalam untuk mendapatkan keindahannya. Maka aku mengerti. Selagi aku terus ditempa dunia, aku tetap harus menghadap ayahmu, mengajaknya bicara, mendekatinya. Karena apa? Aku harus sehebat, setenang, dan semengerti beliau dalam menghadapimu.

Karena jika aku tak sesayang ayahmu, aku tak layak untuk duduk berdua denganmu mengenakan tudung putih bersandingan, menjabat tangan beliau, mengucap nama kamu, mengambil alih tanggung jawabnya untuk membahagiakanmu.

Percayalah, aku sanggup.

Kita hanya perlu bersabar.

Ketahuilah satu hal. Jarak dan waktu antara kita besarnya tidak pernah melebihi rasa sayang yang ada.

Minggu, 03 Januari 2016

bu, istirahatlah sebentar.

“Tolong jangan ambil nyawaku.Sebelum mereka tampak mapan mengarungi hidup ini.” Lirih do'a Ibu, yang samar aku dengar setiap malamnya, membuat aku tak kuasa menahan tangis. Ia tetap tampak cantik di usianya yang lanjut. Indah dalam balutan mukena yang walau sudah usang.

***

Perjuangan seorang ibu, adalah suatu hal yang paling aku banggakan. Berusaha sekuat tenaga meredam semua impian anaknya lewat bakul kuenya, entah, sudah berapa banyak langkah yang telah ia tempuh, berapa jarak jauhnya dalam melangkah, meniti sebuah perjuangan dalam hidup.Terkadang bunyi kemericik minyak goreng di waktu mendekati subuh sudah menjadi santapan kami anak-anak yang masih tertidur pulas dengan mimpi indah semu. Kadangkala, bunyi itu menghilang, bahkan nyaris tidak terdengar, namun bukan berarti berhenti dalam pekerjaannya, melainkan menyiapkan kembali adonan untuk kue berikutnya dengan jenis yang berbeda. Aku termenung dalam kepedihan hati, jika ada satu kalimat yang pantas aku ucapkan, pastilah kalimat itu adalah “Bu, istirahatlah dulu sebentar,. Biarkan matamu terpejam walau hanya sesaat..” Beban hati itu tak dapat aku utarakan, apakah karena kelemahan hati ini yang tersakiti karena beban hidup yang begitu besar, dengan merelakan tangan tua keriput itu berpadu dengan adukan kue dan gagang penggorengan yang menjadi teman setia ibu dalam mengabdikan diri bagi anak-anaknya tanpa pamrih dan tidak bisa dibayar dengan apapun selain senyum kami sebagai anak-anakmu. Aku terbangun dengan kepedihan hati dan keresahan jiwa, namun tidak dengan ibu, yang selalu menunjukkan kekuatan paginya dengan segelas teh hangat, beberapa kue gemblong buatannya dan seember air semangat yang selalu menemaninya disisi kamar ini. Jika ibu merasa ngantuk, pastilah dicelupkan kedua kakinya diwadah yang sudah diisinya air, sehingga rasa ngantuk terdalampun bisa teratasi. Betapa besarnya pemberian bagi anak-anakmu demi selembar uang kertas yang dinilainya mampu kujadikan senjata ampuh untuk menggenggam harapan yaitu menuntut ilmu. Merasakan yang tersulitpun tetap dirasakannya indah meskipun tangan kaki bahkan tubuh yang mulai gemetar menembus pagi seperti layaknya burung yang tidak pernah tertahan untuk terbang meskipun angin dan hujan menerpa. Yang tertinggal dalam hatiku jika melihat wajah ibu mulai lemas dan tangannya mulai bergetar hebat karena batas letih yang ia rasa, aku hanya bisa berlutut dan berdoa, “Tuhan, berikanlah ibu kesehatan..selalu, dan selamanya...”.

***

“Nang, sarapan dulu..”. Itu suara indah yang kudengar setiap paginya. Dengan sisa tenaga yang masih dia sisakan, ia sediakan beberapa kue gemblong dan teh hangat di atas ubin ruang tamu yang mungkin bagi kalian tampak begitu sempit, tapi bagi kami, inilah istana kami. Tempat kami tinggal, penuh cinta dan kasih sayang. Ia mulai mengangkat bakul kuenya, ketika dia pastikan kami sudah pergi meninggalkan rumah. Dengan sorot matanya yang aku tafsir berat melepas kami, tapi dengan lambaian tanganya ia hantarkan kami dengan doa tulusnya. Walaupun keraguan hebat di dalam hatinya terpancar kuat dalam senyum indahnya, seakan mengisyaratkan keletihan jiwa untuk selalu menemaniku hingga kami benar-benar menjadi seperti apa yang dia harapkan. Tetesan air matanya menebus rona jiwa dan sisi-sisi alamku, ketika harus melepaskan kami untuk berjalan sendiri menyusuri dusun kecil dikampung, entah menuju kemana yang pasti kepercayaan penuh demi cita-cita kami. Sepenggal harapan yang selalu dia sematkan yakni menjadi orang yang “rendah hati” dapat kami jadikan semangat menyusuri hidup yang tidak pernah diketahui maknanya. Aku-pun hanya berharap bahwa Ibu akan baik-baik saja dan menemukan kebahagian dari Dia yang empunya kehidupan ini.

***

Ayah, andai saja kau masih hidup. Mungkin ibu tidak akan seletih ini. Berjuang sendirian menghadapi kehidupan yang semakin sulit. “Kumohon Tuhan, kembalikan ayahku, turunkan ia untuk menemani ibuku”. Meski aku sadar bahwa doa itu mustahil untuk dikabulkan, tak henti-hentinya aku meminta. “Aku hanya ingin ibu bisa istirahat yah...”.Kusapu air hangat yang mengalir dipipi saat ibu membuka matanya terbangun karena suara ringikan tangisku. Ia membelai wajahku, sunyi tanpa kata. “Ibu, cepatlah sembuh..” Bulan depan aku Wisuda.. katanya ibu mau lihat aku jadi insinyur..” iring senyuman lirihku menahan pedih tangis dalam hati. Dan,. rasa bahagia mendalam merasuk ke dalam lubuk jiwaku saat melihat garis senyum di bibirnya. Satu momen yang tak pernah aku rasakan semenjak tiga bulan yang lalu.

***

Bu, lihat anang sekarang sudah jadi insinyur. Anang akan jadi orang besar bu. Anang janji. Ibu tidak usah repot lagi buat kue untuk dijual, karena anang akan jadi orang besar bu, anang akan jadi orang Kaya. Aku tak peduli walau tampak seperti orang gila. Berbicara pada gundukan tanah yang basah karena hujan. Aku tak peduli seberapa kotor bajuku, memeluk tanah dan berkali-kali ku ciumi. Dengan berat aku meninggalkannya, kusisipkan topi Toga diatas kayu tua bertuliskan namanya. “Ibu harus percaya, anang sudah jadi insinyur bu... sekarang ibu bisa istirahat.... anang akan jadi orang besar bu...”

Untuk setiap peluh keringatmu

Untuk setiap tetes tangis doamu

Untuk setiap senyum tulusmu

Untuk setiap kasih sayangmu

Ijinkan kami berkata,

Aku sayang kamu, Ibu.