Senin, 06 Juli 2015

DENGER YA, BAR!

Denger ya! Aku tidak tau kenapa sudah seminggu kamu pergi, aku masih saja belum melupakanmu. Kamu pikir setelah seminggu aku akan lupa sama kamu? Memangnya aku amnesia apa? Mana aku juga masih terus bertanya-tanya. Kenapa. Kenapa. Kenapa. Pertama, kenapa juga kamu mesti pergi? Kenapa coba?
          "Deb, aku ma pergi bareng temen-temen ya sabtu ini ke bromo, bareng teman-teman."
          "Hah? Aku ikut kan?"
      Kamu menggeleng saat itu. Aku langsung merasa dicampakkan. Bagaimana bisa, Bar? Semua orang juga tau di mana ada Debby, di situ ada Akbar. Kita tak terpisahkan. Mana aku sedang merencanakan liburan panjang ini, ya sebulan, kita akan berdua terus. Mungkin kita bisa jalan-jalan bareng, atau banyak mengobrol dengan keluarga masing-masing.
          "Kenapa aku nggak kamu ajak, Bar?" Tanyaku antara sedih dan kesal.
          "Ya, aku kan pengen banget j alan bareng temen-temen aku."
          "Tanpa aku?"
          "Bukannya aku nggak mau, Deb.. tapi.. kali ini.."
          Kamu terdiam. Aku mulai menangis.
          "Kamu selalu ajak aku, kenapa kali ini enggak, Bar?"
          Kamu memeluk aku. "Kali ini, khusus aku dan teman-teman."
          Saat itu aku coba mengingat jejeran teman kamu. Oke, ada Sandy, Tio, dan Rama.
          "Sandy, Tio, dan Rama?"
          Kamu mengangguk. "Ramalasane-rame kok, ada juga si Desi.."
         What? Tunggu dulu. Ada Desi? Aku pikir ini "boys only"  Akbar ini pergi bersama gerombolan teman-teman cowoknya. Tapi kok tiba-tiba dia menyebut nama Desi, sahabatku?
       Aku langsung memotong ucapannya, "maksud kamu apa ajak-ajak Desi, tapi aku nggak diajak? Maksud kamu apa?"
          "Ngg.. ya nggak ada maksud.."
         "Nggak ada maksud? Kamu sengaja ya? Sengaja kasih tau ini supaya aku kesal? Apa kamu udah bosan sama aku? Mau putusin aku ya?" Teriakku.
    Orang-orang mulai berkumpul dan berbisik-bisik. Lalu, nama teman-temannya yang tersebutkan tadi tampak dari kejauhan. Aku lihat sorot mata mereka yang seakan mengejek, seakan mengatakan aku bukan bagian dari tim.
          "Deb.. denger dulu.."
          "Cukup! Aku nggak mau dengar! Denger ya, Bar, aku tau maksud kamu!"
          Aku lalu membalikkan badan dan berlari kencang. Pacarku baru saja memutuskanku.
          "Deb, kamu kok drama gitu?" Desi berusaha memegang tanganku.
          Aku mengibaskan peganganya dan memicingkan mata. "Jangan pura-pura deh, Des!"
         "Debbyyyyyy!!!" Teriakmu.
         Ngapain panggil-panggil aku? Fine, kamu mau pergi bareng teman-teman kamu. I GOT IT.

***

       Aku ingin ikut terjun masuk ke liang lahat itu. Ingin bersatu denganmu. Tapi niat itu aku urungkan, Bar. Aku melihat mama kamu menangis meraung-raung. Masa aku lebih histeris dibanding ibumu sendiri? Apalagi kita sudah putus.
      Tapi terus terang aku masih merasa bagian dari kamu. Ketika teman-teman datang  memeluk dan mencium pipiku ikut berbela sungkawa, aku masih merasa jadi pacarmu.
     Kenapa, Bar. Kenapa kamu mesti pergi. Bahkan sebelum kamu mencapai bromo. Mungkin kalau kamu menghilang, tidak ditemukan jasad kamu, aku bisa bilang kamu menghilang di tengah misteriusnya kawah bromo. Seperti layaknya pendaki atau penjelajah yang gagah berani. Tapi kamu meninggal sebelum pergi. Kamu terjatuh dari motor, dalam perjalananmu ke rumah Desi.. uh, ya, Desi. Mungkin itu alasan aku tidak akan ikut terjun ke liang lahat itu dan aku berusaha tegar karena nama perempuan sahabat. Eh, mantan sahabatku itu. Aku lalu terburu-buru menghapus air mataku dan meninggalkan kamu sendiri di kegelapan abadi. Kamu pantas untuk itu!

***

          Kriiing... Kringgg..
          Klik!
       Aku mematikan setiap panggilan telepon yang datang dari Desi, entah itu nomor HP Desi atau nomor telepon rumah Desi. Tidaklah cukup ia merebut pacar orang? Tidak cukupkah dia menyakiti hatiku? Sudah puaskah dia sekarang karena tidak satu pun yang berhasil mendapatkannya? Mungkin tuhan mendengar rintihanku, cowokku itu diambil sebelum berlama-lama direbut orang yang kupercaya, sahabatku sendiri.
          Debby, gw pgn ngmng. Ngomong apa lagj yang mau diomongin?
          Aku tidak membalas sms itu. Eh dia melanjutkan dengan pesan: penting bgt!
        Penting, penting. Apa yang lebih penting dibandingkan hatiku yang patah. Oh, bukan sekedar patah, tapi berkeping-keping. Hancur. Hilang. Habis. Hampa.
        Bayangkan. Setiap pagu sejak kami jadian setahun lalu, Akbar menjemputku dengan motor satra merah biru kebanggaannya. Setiap hari ia bersamaku, mengantar-jemput, ke sekolah, ke les fisika, ke pensi, ke mana-mana. Aku dan Akbar, tidak terpisahkan. Sampai kejadian sore itu, saat dia menyebutkan nama teman-temannya, plus nama Desi. Bayangkan, nama Desi disebut. Desi diajak ke bromo dan aku yang, tolong catat: ceweknya, tidak. Desi memang musuh dalam selimut. Pura-pura bilang Akbar cowok paling oke buat aku dan mau dengerin curhatanku. Huh!
     Sejak itu, hariku berubah. Ketika Akbar datang dengan motor kebanggaannya, aku tidak keluar. AKu tau itu cowok yang berani menghianatiku dengan mengajak sahabtku pergi jalan-jalan. Lalu siangnya, Akbar tidak mengajaku pulang, cukup jelas bukan? Dia juga tidam muncul di depan pagar rumahku. Dan, sejak itu kegiatan rutin bersekolahku jadi total berbeda. Cukup dua hari begitu, aku pun meliburkan diri. Biarin aja. Liburan tinggal beberapa hari lagi. Ya, liburan semester yang panjang dimana Akbar mengajak Desi. Apa lagi yang lebih penting dari itu?

***

         Denger ya, Bar. Air mata aku habis terkuras. Kenapa aku masih menangisi kamu, sementara kamu, sementara kamu sudah tidak mendengar. Karena cuma itu yang bisa melegakan diriku. Aku tentu saja nggak bisa mendatangi nisanmu setiap hari dan menaburkan bunga. Berlebihan bukan? Oh, mungkin ritual itu sudah dilakukan Desi, bukan?
          "Debby, kamu masih juga betah di kamar, sayang?"
          Aku menengok. Mama.
          "Mama nggak bisa ketok pintu dulu?" Tanyaku kesal.
          "Tadi mama ketok berulang kali tapi kamu nggak dengar."
          Mungkin, Bar. Kupingku jadi budeg, karena otakku cuma memikirkan kamu! Ngapain coba?
          "Maaf ma."
          "Liburan kok nggak jalan-jalan?"
         Terima kasih ma, untuk mengingatkan. Liburan yang menyedihkan. Pertama, oh mungkin mama belum tau yang pertama soal Akbar, soal Akbar mengajak Desi ke bromo. Yang kedua, mama tentu tau soal Akbar meninggal. Aku bergumam hati.
        Mama menarik napas panjang lalu menjulurkan tangan kanannya, menyerahkan amplop biru. 
          "Barusan Desi datang kasih ini."
          Aku menatap mama kesal. "Kan Debby sudah bilang, Desi bukan lagi sahabat Debby. Dia itu musuh terbesar. Oke, in case mama nggak tau. Desi ngerebut cowok Debby, Akbar. Egois! Tuhan mungkin tau Debby sedih banget, jadi Akbar diambil nyawanya."
          "Debby!" Mama membentak. Aku berlinang air mata.
         "Siapa yang egois? Desi? Mungkin ada baiknya kamu berlama-lama di kamar ini . Biar kamu sadar apa yang kamu ucapkan atau lakukan ke mama, atau yang lebih penting ke sahabtmu. Desi."
          "Desi bukan sahabtku!" Sahutku membenarkan diri.
          "Terserah, tapi Desi datang pun cuma menyampaikan amplop ini. Amanah ini."
    Mama meletakkan amplop biru persegi diatas tempat tidurku dan menbalik badan meninggalkan kamarku tanpa bersuara. Aku memandang amplop itu. Uh, buang saja! Paling dari Desi, tapi pura-pura dari orang lain. Paling dia mau berpanjang-panjang minta maaf. Buktinya dia sudah berhasil meracuni otak mama. No away!
        Saat aku meraih amplop itu dan hendak menyobek-nyobeknya.. terlihat tulisan: Debby.. hm.. sepertinya tulisan.. masa iya? Aku langsung lemas. Aku mengumpulkan sisa tenaga membukanya dengan gemetar..

Debby,
Terkadang cinta membutuhkan sendiri
Waktu hampa untuk menyadari
Rasa dalam hati

Sore itu Debby,
Aku menyadari hari-hari
Bersamamu dari pagi, sore, hingfa pagi lagi
Kamu dan aku kesana kemari
Berdua, lengket, layaknya sejoli

Aku membutuhkan aku, ya diriku sendiri
Menyepi, oh mungkin tidak sendiri
Tapi bersama teman-teman lain yang terlupakn untuk disyukuri
Bahwa mereka ada di bumi ini
Bukan cuma ada aku dan kamu: Akbar-Debby

Ada Sandy, Tio, Rama. Bukan cuma Desi, ada Diah dan Rini
Banyaknya! Manusia-manusia di sekeliling ini
Berkumpul bersama mereka nanti
Menikmati kebersamaan, hingga puas berkreasi
Menelaah hidup warna-warni

          (Aku nggak pinter bikin puisi, Debby. Aku nggak tau caranya. Inget! Aku bukan mengusirmu pergi, tapi justru membawamu dalam hati setiap ruang sendi. Pacaran nggak berarti aku harus "mati" kan? Pacaran nggak berarti kita egois, "Dunia ini milik kita berdua, yang lain mengontrak." Hehehe.. seyum dong, Deb :) aku juga punya teman-teman, aku i ingin berkegiatan. Berilah aku ruang untuk bersama teman-teman aku, Debby. Sendiri. Lalu kembali, rindu padamu. Melebur bersamamu lagi. Bersatu kembali, dalam satu hati :)


            Love,

            Akbar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar