Sabtu, 17 September 2016

menghitung mundur


Tok… tok… tok…

“Akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu,” ucap seorang wanita berwajah oriental dari balik pintu yang langsung memamerkan senyum termanisnya serta dua buah gigi gingsul, lalu tanpa aba-aba, dia memelukku.

“Aku sudah memasak makanan kesukaanmu, yuk,” lanjutnya sambil menarik lenganku masuk ke rumah dan menuju ke ruang makan. Aku hanya mengekori langkahnya sembari memperhatikan punggung kecil yang sepanjang hari selalu berusaha ceria.


“Kamu selalu bisa membuatku bahagia. Aku beruntung sekali memilikimu, Zenna.” aku mengecup keningnya pelan, “bagaimana hari ini, Sayang?” Dia tersenyum mendengar pertanyaanku. “Seperti biasa, rumah ini tak pernah membuatku merasa bosan.” Aku tau, dia sedikit berbohong dengan jawabannya barusan. Siapa yang tidak jenuh jika hampir sebulan penuh hanya berada di rumah?

Tangan mungil Zenna cekatan melepas dasi berwarna merah marun yang tersimpul di kerah kemeja biru muda yang membungkus tubuhku. Perlahan, aku menggenggam jemari-jemari lentiknya, dan dia terpaku saat mata kami beradu.

Cup.

Sebuah ciuman hangat kudaratkan pada keningnya yang mulai penuh dengan peluh, di umurnya yang menginjak 27 tahun. Dia terpejam menikmatinya dengan senyum yang menawan. Zenna selalu berhasil membuat jantungku berdebar oleh senyumnya. Kini dia melingkarkan kedua lengannya di punggungku. Memelukku erat.

Zenna Wulansari, istriku, seorang wanita yang tak pernah kubayangkan sebelumnya menjadi pendamping hidupku. Seorang wanita yang tangguh. Seorang wanita yang lembut. Seorang wanita yang cantik, dewasa dan pintar memasak. Seorang wanita yang jarang mengeluh, dan seorang wanita yang mengajarkanku bagaimana cara untuk tetap tersenyum dalam titik terendah kehidupan. Aku berterima kasih sebanyak-banyaknya untuk semesta yang mempertemukanku padanya di batas jenuh penantianku. Hingga akhirnya ada seorang gadis yang selalu tulus mencintaiku.

“Cumi saus Padang kesukaanmu, Kangmas Rama Prasetyo.” Zenna menyendokkan makanan kesukaanku itu dengan wajah jahil ke piring yang telah dipenuhi butiran nasi porsi kuli -ya aku memang banyak makan.

“Kamu jangan mulai deh nyebelinnya,” balasku. Aku ingin sekali mencubit pipinya yang merona merah seperti buah tomat yang ranum saat dia mengucapkan kalimat itu. Sungguh, sayang saja, jika aku nekat melakukannya, dia akan merajuk dan tidak akan memasak apapun seharian sebelum aku memetikkan bunga mawar dari tangkainya langsung di kebun pamannya, di Garut. Jangan mengira aku hanya bercanda, karena jarak Jakarta – Garut tidaklah dekat.

Kami bercengkrama mengenai hari-hari yang mulai terasa berat sambil menikmati hidangan malam. Setelah selesai, kami menuju ruang televisi, tempat favoritku menunggu rasa kantuk menyerang di tengah malam yang kian melengang. Televisi, remote, majalah Minggu lalu, serta beberapa sisa cemilan ringan menjadi saksi bisu ciuman-ciuman mesra terukir bertubi-tubi di bibir kami. Hingga pukul satu atau dua malam lewat sepuluh menit, Zenna tertidur pulas di dadaku. Tempat dia menyandarkan seluruh perasaannya sejak di bangku kuliah semester dua hingga kami berumah tangga.

Wajah polosnya selalu membuatku tak pernah sekalipun bisa mengeluarkan amarah selama empat tahun pernikahan kami. Kedua kaki jenjangnya seperti tidak mempunyai rasa lelah setiap kali berbelanja keperluan rumah di mal atau sekedar mencuci mata di toko buku, memang sudah tabiat wanita sepertinya. Tapi dia jarang memintaku membelikan aksesoris atau perabotan lucu seperti kebanyakan wanita lainnya yang langsung membawanya kasir. Dia lebih memilih membawa pulang satu atau dua buku yang dapat menambah pengetahuannya, itupun dengan uang tabungannya sendiri.

Zenna mengerti betul bagaimana lelahnya mencari uang. Dulu, ketika kami masih kuliah, aku memutuskan untuk kerja sambilan. Dan dia selalu mewanti-wantiku untuk tidak boros menggunakan uang. Zenna rajin mengumpulkan uang sisa belanja mulai dari dua puluh ribuan hingga uang receh seratus rupiah, dan menyimpannya pada sebuah celengan kaleng di atas kulkas. Hingga dia rasa cukup dan ada waktu, dia akan membuat uang-uang yang telah terkumpul itu menyatu pada saldo rekening miliknya. Untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada kebutuhan dadakan, katanya.

Aku pelan-pelan mengangkat tubuhnya dari sofa dan menggendongnya ke arah kamar yang terletak hanya sekitar enam meter dari ruang televisi. Kubiarkan televisi LED berukuran 21 inci itu menyala hingga pagi agar suasana rumah minimalis kami tidak terlalu sepi, hanya lampunya saja yang kumatikan. Ah, tubuhnya semakin terasa ringan saja, padahal dia telah menuruti anjuran dokter untuk mengkonsumsi makanan yang menambah berat badan. Tetapi hal itu tidak banyak membantu.

Setelah pintu kamar terbuka dengan dorongan kaki kiriku, aku segera menurunkan tubuh Zenna ke kasur yang berlapiskan sprei berwarna biru laut, warna kesukaannya. Dia mengigau memanggil namaku pelan. “Ramaaaaa…”

Aku tersenyum kecil dan menikmati wajah lelahnya. Lima menit kemudian aku mengecup lembut keningnya tiga kali, lalu mematikan lampu kamar. Aku belum benar-benar bisa memejamkan mataku. Sebelum tidur, dalam gelap aku berdoa, semoga kebersamaan ini akan terus berjalan hingga kami tua renta dan waktu menjemput kami. Tapi ternyata doa yang paling kuinginkan itu tak terkabul. Jika saja saat itu aku tau bahwa malam itu adalah akhir kebersamaan kami. Aku ingin meminta padaNya agar aku pun tidak terbangun lagi.

***

“Sampai nanti kita bertemu lagi, ingatlah aku sebagai seorang yang selalu mencintaimu, dan jangan lupa untuk selalu tersenyum, Sayangku. Aku tidak ingin melihatmu menjadi pria cengeng yang ditinggal pergi orang yang sangat dicintainya. Mungkin suatu hari kamu akan menemukan penggantiku, aku akan dengan senang hati mengizinkannya mencintaimu. Asalkan dia dapat merawatmu dengan baik.”

Aku masih ingat pesan terakhir yang kau ucapkan hingga kini, hingga tujuh tahun kepergianmu. Sebuah pesan yang menjadikan hidupku lebih tegar dari suami-suami mana pun, yang pada akhirnya memutuskan untuk menikah lagi tak lama setelah istrinya pergi untuk selamanya.

Bunga warna warni yang kutaburkan pada tempat peristirahatan terakhirmu tercium wangi, ditambah siraman air mawar yang menggemburkan tanahnya. Menghancurkan jantung hatiku seketika dengan sesak di dada yang tak lagi tertahankan. Tanpa sadar setetes air bening jatuh dari ekor mataku di antara air mawar yang kusiram. Maaf Zenna, biarkan aku menjadi pria cengeng yang lemah hanya di hadapanmu. Aku sungguh merindukanmu.

Aku lupa kapan tepatnya terakhir kali tersenyum. Seingatku, saat itu kamu bilang bahwa kamu tidak punya alasan untuk bersedih.

Aku tidak pernah berjanji akan mencintaimu sampai kapan, tetapi aku akan mencintaimu sampai batas waktu yang Tuhan tentukan, dan telah kulakukan.

***

Apa kabarmu, nyonya manis yang sangat cerewet?

Semoga kamu tersenyum saat membaca tulisan ini dari atas sana. Aku tau, kau pasti membacanya meskipun kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca novel-novel picisan atau buku-buku tebal yang menambah kualitas kognisimu.

Bagaimana keadaanmu kini? Ah, sepertinya kau sudah duluan menjelajahi tempat-tempat yang belum sempat kita kunjungi dahulu. Foto-foto beberapa lokasi wisata yang kau tempelkan pada gabus biru persegi di dinding kamar kita masih angkuh tertempel di sana. Aku tidak akan membiarkan siapapun mencopot atau memindahkannya sebelum aku kunjungi semua.

Sepertinya kau sudah lebih dulu menikmati butiran pasir putih pulau Phuket dengan sepasang kaki lincahmu itu, pastinya kau iseng mencari kepiting kecil yang bersembunyi di sela-sela batu karang, atau diam-diam memotret beberapa turis yang sedang bermesraan lewat kamera polaroidmu. Biar kutebak, kau pasti menyusuri sepanjang garis tepi pantai itu sambil merasakan deru angin laut yang menerpa lesung pipimu. Seperti yang kau lakukan di pantai Anyer saat kita masih berpacaran dulu. Oh iya, kedua bola matamu pasti gembira sekali karena sudah menyaksikan setangkup senja yang sangat indah di sana.

Sedangkan, aku masih merutuki rutinitas kerjaku yang masih begitu-begitu saja. Maaf, aku lebih memilih lembur daripada bepergian ke luar. Kau kan tau, semenjak bersamamu, aku benci bepergian sendiri. Begitu pun ketika kau tak ada, aku semakin benci pergi sendiri. Ya, terserah jika kau ingin mengomeli atau meledekku karena sifat jelekku ini. Terserah.

Jika kau ingin menanyakan perihal bagaimana kabar mama dan papa, aku akan menjawabnya dengan senang hati. Mereka berdua sekarang sedang bahagia menyambut cucu pertamanya lahir, anak Rini, adikmu, yang tiga tahun lalu menikah dengan Edo, cowok yang selalu kau ancam untuk tidak menyakiti adikmu itu kini telah menjadi bagian dari keluarga kecil kita. Oh iya, anak mereka perempuan. Namanya Aura. Si kecil itu cantik, lucu, dan menggemaskan. Aku pernah membayangkan suatu hari anak kita seperti itu. Tolong jangan cemberut, aku hanya membayangkannya saja, sayangku. Sudah pasti anak kita akan lebih cantik dari anak siapapun. Iya kan?

Saat menulis ini aku baru saja selesai memasak dan memakan tumis buncis dicampur kornet, makanan kesukaanmu. Setelah belajar beberapa kali dengan panduan buku masak serta bimbingan ibu-ibu acara televisi yang secara live mengajarkan cara memasak, akhirnya aku berhasil memasaknya dengan sempurna.

Aku berani taruhan jika kau masih ada di sini, kau tidak akan menerima kekalahan karena masakanmu kalah dengan enak denganku. Lalu kau akan menyerah dan membiarkan bibirmu kukecup pelan. Aku makan sembari duduk termenung berhadapan dengan sebuah bingkai foto yang menjadikan rekaman wajahmu abadi. Dan lamat-lamat kurasakan nadi-nadi jantungku berdenyut pelan dan melemah setelah menyadari kau tak ada di sini. Kau mungkin benci jika kau tau, kini aku hanyalah tubuh kosong yang semakin terkikis hancur perlahan-lahan seiring berjalannya waktu.

Zenna sayang, andai saja waktu kuulang kembali meskipun dengan nyawaku sebagai taruhannya. Andai saja saat itu ambulance tidak telat mengantarmu ke rumah sakit akibat macet ibu kota yang haram jadah, yang mengakibatkan kau tersiksa oleh penyakitmu. Andai saja Tuhan berbaik hati untuk menyembuhkanmu. Tidak, aku tidak menyalahkan Tuhan atas semua yang telah terjadi. Aku hanya berandai-andai jika saja penyebab kepergianmu dapat kutukar dengan nyawaku sendiri. Karena aku akan melakukannya dengan senang hati.

Aku sangat merindukanmu, Zenna. Kuharap Tuhan tidak sengaja tertidur karena bosan saat namamu panjangmu kulafalkan beserta ayat-ayat suci dalam doa penuh air mata yang kupanjatkan di malam yang semakin terasa lambat.

Seringkali aku meneriakkan aamiin dalam satu hela napas panjang di atas sejadah, mengadukan nasib yang perih, menabur duka pada lukaku yang getir, atau meracuni diri dengan seonggok harapan semu. Aku tak ayalnya seperti serigala yang puasa berbulan-bulan hingga lolongannya terdengar letih, namun kematian hanya membuatnya terpaksa mencumbu kesendiriannya sendiri.

Maafkan aku yang sesekali menangis menjelang subuh. Ketika kedua mataku yang lelah terpejam, tanpa sadar aku terbuai dengan rekaman-rekaman lama peristiwa kepergianmu yang ingin sekali kuenyahkan seumur hidup. Aku masih ingat malam itu, di ruangan dengan bau obat menyengat, aku menjudikan harapan dengan doa-doa untuk nyawamu. Tapi semuanya sia-sia. Tuhan lebih menyayangimu, dan tidak tega melihatmu semakin melemah dari hari ke hari.

Aku benci mengingat dokter yang menyuntikmu dengan obat enta-apa-itu ke pembuluh darahmu, lalu tanpa teganya membedah tubuhmu yang kecil itu -aku hanya terdiam pasrah menyaksikannya, dan meletakkan alat kejut pemicu detak jantung di dadamu ketika usaha mereka gagal. Dan akhirnya, kau memilih menerima uluran tangan malaikat yang menjemputmu dengan tersenyum ketika air mata terakhirmu jatuh di depan mataku. Aku merasakan tikaman paling hebat di hati dan jantungku, ketika takdir paling keras itu harus kualami dan tak bisa kuhindari.

Kini setiap kali mataku hendak ingin terpejam, aku harus bergulat terlebih dahulu dengan rindu yang datang menyerbu. Tak ada kata bosan dalam agenda mereka, dan tak ada letihnya mereka meminta temu meski hanya bisa kukabulkan lewat mimpi-mimpi tentangmu yang menjelang pagi akan terhapus kembali. Aku bersyukur dengan kehadiran rindu, tanpa mereka, aku takkan pernah bisa merasa dekat denganmu dan mengerti bagaimana cara setia. Meskipun aku tau aku bisa hidup tanpamu, tetapi jujur, aku tetap tidak suka. Karena aku dan rindu mengerti, kau takkan pernah kembali, meskipun hanya satu kali.

Bersabarlah, malaikat kecilku. Aku takkan pernah bosan mengunjungimu setiap sebulan sekali di akhir pekan dengan membawa tujuh tangkai bunga kesukaanmu, mawar merah yang kupetik langsung dari kebun pamanmu, dan meletakkannya di samping nisanmu. Kumohon, bersabarlah dengan senyum manismu. Terhitung detik ini, aku akan selalu mengingatkanmu untuk selalu tersenyum di atas sana. Kecup kening dan peluk tubuhku dengan cara yang kau bisa. Aku akan dengan penuh cinta merasakannya.

Tunggu aku, sayang. Kau boleh menghitung setiap detik yang bergulir meski aku tidak tau apakah di atas sana ada jam dinding, hingga pada suatu waktu aliran darah di seluruh nadiku berhenti, pun dengan napasku, lalu kita akan bertemu pada sebuah pertemuan yang takkkan terjadi perpisahan. Percayalah, kita akan dipertemukan di sebuah pengulangan abadi, di mana air mata kita menari gembira menyambut hangat dua hati yang disatukan tanpa harus takut kehilangan lagi.

Salam rindu dan peluk hangat, dari aku yang selalu mencintaimu dan gemar menghitung mundur.

Rama.

Siapkan senyum paling manis milikmu untuk menyambutku nanti, sayang.


Selasa, 09 Agustus 2016

selamat tanggal sembilan lagi, sayangku.

Mengapa harus kamu? Mengapa tidak yang lain?
Kamu memang sama dengan yang lain. Yang membuatmu berbeda hanya satu. Kamu milikku.
Lantas, mengapa harus kamu?
Aku hanya mengikuti kata hati saja. Mungkin banyak sosok lain yang lebih cantik. Banyak perempuan yang lebih pintar dan cantik. Tapi, cinta kan bukan hanya tentang fisik dan materi? Cinta itu tentang hati. Pun tentang ketulusan dan kenyamanan. Menurutku, nyaman itu nomor satu. Tapi, nyaman saja tidak cukup. Aku butuh kebahagiaan, kecocokan dan rasa saling percaya. Jika aku hanya merasa nyaman tapi tidak bahagia, untuk apa? Setiap orang ingin hidup bahagia tentu. Begitupun denganku.

Sudah 29 bulan berlalu, namun rasa ini masih saja sama. Rasa yang muncul sejak pertama “bersama” tidak pernah berubah. Jenuh mungkin ada. Tapi, sayangnya cinta masih terlalu kuat untuk jadi tandingannya. Cemburu dan egois kadang tak mau mengalah. Tapi, rasa sayang mengalahkan keduanya.
Ah, aku sangat beruntung memilikimu. Sosok yang selalu mengorbankan telinganya untuk mendengarkan celotehanku yang tidak penting. Sosok yang bisa mengorbankan waktunya untuk dihabiskan bersamaku. Sosok yang selalu sabar menghadapi kekanak-kanakanku. Sosok yang rela membagi materinya untuk dinikmati bersamaku. Sosok yang pendiam, penyabar, perhatian, penyayang, pendengar yang baik, teman diskusi yang asik, penasihat yang handal, serta motivator yang berpengalaman. Betapa aku sangat menyayangimu.
Aku memang tukang khayal. Begitu katamu.
Tapi kembali lagi pada penentu takdir tadi, Sang Pencipta. Dia sudah menentukan takdir kita masing-masing ke depannya. Berdoa saja semoga hubungan yang kita jalani ini merupakan bagian dari takdirnya. Semoga bisa terus berlanjut tak terpisahkan.
Kamu mungkin bosan membaca tulisanku yang lagi-lagi tentang kamu. Tapi aku menulis ini bukan untukmu. Tapi untuk orang-orang selain kamu. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku bahagia dan bersyukur memilikimu.
Meskipun aku terlihat seperti anak kecil, tapi izinkan aku untuk mengucapkan, selamat bertemu di tanggal sembilan yang ke-29 kalinya. Kita sudah melewati 500 hari lebih bersama-sama. Semoga takkan berhenti di hari ini, esok, lusa, dan seterusnya. Semoga masih akan ada hari-hari ke depan untuk dilalui bersama. Semoga Allah menakdirkan kita untuk terus bersama. Aamiin.


happy mensiversary, sayangđź’‹

Rabu, 15 Juni 2016

TENTANG PENYESALAN

“kita putus!!!“
“ya sudah. Aku akan cari yang lain!”
“hah?”
Pinkan adalah gadis super cuek dan dia pun paling gensi jika menangis di depan cowok. Bagi dia cewek yang nangis dan ngemis-ngemis mendapatkan cinta seorang cowok itu, bodoh!. harusnya kita yang dikejar bukan kita yang mengejar.
Setelah lama dia diputusin cowok-cowoknya. Alasan sama EGOIS. Dia jarang nggak pernah SMS jika nggak di SMS duluan. Apa lagi telfon, nggak pernah. “gensi lah masa aku yang telfon..”
Selalu itu. Rangga adalah cowok ke-3 yang minta putus. Dengan gampangnya dia bilang “ya udah…”
Rangga pun sempat tak percaya, dia ingin mendengar kata-kata “jangan..” atau apalah. Apa benar pinkan nggak sayang dia?
Jika di bilang nggak sayang, itu salah. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, pinkan memang cuek dan nggak pernah peduli dengan mantan-mantannya. Kali ini beda, dia selalu mengamati setiap gerak-gerik rangga di FB dan di status twitter.
Dibuatnya gila, saat ada beberapa cewek yang mulai dekat dengan rangga. Bibirnya selalu manyun, saat mengetahui seakan status dia baik-baik saja.
“Harusnya dia galau, atau kalau nggak dia bilang masih sayang kek, ini…? Mama… hiks hiks”
Wah dugaan pinkan salah. Rangga beda dari cowok-cowok sebelumnya. Selain dia ganteng dia juga punya banyak teman cewek yang mudah dia dapatkan. Bukan main dibuat galau, pinkan semakin manyun.
“Tapi.. dia yang minta putus!. kenapa gara-gara aku sibuk sama teman-temanku, dia cemburu sih.? Teman-temanku kan cewek. Aku aja ngebebasin dia. Memang sih aku nggak pernah sms duluan, itu bukan karena nggak sayang.”
2 minggu berlalu..
Masih kangen bercampur sebel itu yang dinamakan cinta. Pinkan semakin di buat kesel, karena harus selalu bertemu dengan rangga setiap saat. Salahnya dia, mengapa dia milih pacaran sama satu kelas. Kayak gini repot kan?
“kamu putus pink,” Tanya desi
“iya!” jawabnya singkat.
“kalau gitu rangga buat aku ya,”
“hah?”
OH Tuhan.. kenapa semakin menyebalkan sih. Apa yang dikatakan Desi memang nggak main-main. Saat dia tahu pinkan putus dengan rangga. Langsung saja si desi mendekati rangga. Tak lama ada kabar kalau rangga itu jadian dengan Desi.
Gila!!!
Bukankah desi itu sahabatnya, segitu banget sih. Langsung nyongsong aja. Semakin pedas dibuatnya saat dia mengetahui mereka pacaran. It is okay, kenapa aku nggak bikin dia panas juga.!
Dengan sedikit kecewa dan mulai dengan ispirasinya, aku pun harus cepat memiliki cowok. Tapi siapa?
“pink.. besok Adit kayaknya kesini.”
“adit siapa sih ma..”
“itu loh, anaknya om Faizal.”
“oh..”
Adit, dia adalah anak teman mama. Dulu sih aku sering main bareng sama dia. Sudah 7 tahun berlalu aku nggak pernah ketemu dengan dia. Seperti apa wajahnya? aku sudah lupa pastinya. Umur kami beda 2 tahun. Kata mama sih bakalan lama Adit berada Semarang. Dia mau kuliah di kota ini katanya.
Tak bisa di duga bayangan pinkan itu berubah total, saat bertemu Adit, kirain dia masih item dan buluk. Ternyata berubah menjadi ganteng dan keren. Mungkin karena air dan udara di bandung yang dingin. Merubah kulit hitam pekatnya menjadi putih gitu.
Harus kah dia tinggal dirumahku?
Ya harus kata mama pinkan. Ternyata Aldy tinggal di rumah pinkan. Bukan hal baik tentunya, karena kamar pinkan justru di kasih buat Adit, dan dia tidur di kamar belakang bekas kamar si mbok.
“oh no!”
Ini sebuah ketidakaadilan buat pinkan. Hubungannya semakin nggak baik dengan Aldy. Apalagi sifatnya yang sangat membosankan. Berusaha cari perhatian dengan cara menjemput setiap pulang sekolah.
“pink..”
“kamu? Kenapa kesini lagi sih. Aku kan udah bilang jangan pernah jemput aku.”
“mama kamu yang minta. Lagian kamu pede banget sih, siapa juga yang mau jemput cewek jutek kayak kamu.” Ujarnya kesel
“jutek?”
“iya!”
“oh no!. kamu!!!”
“itu cowok kamu pink?” Tanya desi. Yang tiba-tiba muncul dengan rangga. Saat itu rangga benar-benar di buat panas. Siapa kira jika pinkan pun secepat itu mendapat penggantinya.
“iya!” tegas pinkan.
“apa?” kaget aldy. “aww..” pinkan pun mencubit pinggang Aldy.
“oh! selamat..” ujar mereka berdua. Pinkan sungguh puas ketika berhasil membuat rangga cemburu.
Sampai rumah pinkan dengan Aldy masih sempat berantem masalah kebohongan pinkan. Mengenai tadi saat pinkan mengatakan Aldy itu cowoknya.
“aku juga nggak bodoh kali, aku juga nggak mau punya cowok bawel kayak kamu.!”
“Terus kenapa kamu mengatakan aku itu cowok kamu?”
“aku Cuma ingin keliatan baik-baik saja di depan mereka!”
“dia mantanmu?”
“iya! dia putusin aku.”
“Pantes aja kamu ditinggalin dia. Sudah di tebak. Makanya jadi cewek tuh jangan jutek.”
“memang salah jika aku nggak sms ke dia duluan, memang salah jika aku ngga mau jalan karena aku mau jalan sama teman-temanku. Nggak kan?”
“SALAH! cowok juga sama. Dia juga ingin diperhati’in. dia juga ingin mendapat pengungkapan rasa sayang kamu itu. Cowok pastinya bertanya-tanya lah apa benar kamu itu sayang sama dia? jika hal kecil seperti sms aja kamu nggak pernah sempatin. Bukan gitu cara kamu pink.. kamu mungkin cuek, tapi nggak semua orang berpikiran seperti kamu. cowok juga sama punya perasaan. Walaupun terkadang mereka mengutamakan logika, akan tetapi cowok juga nggak pernah meninggalkan perasaannya.” ujarnya.
Pinkan pun terdiam, apa yang dikatakan Aldy benar. Tapi dia telat karena rangga sudah jadi milik Desi.
“buat pengalaman kamu aja.. hilangin sifat cuek kamu. kamu bakalan diputusin cowok kamu terus kalau kamu masih nyimpen sifat EGO sama CUEK kamu!”
(****)
Pinkan mulai menyesal. Dia memeng masih mencintai rangga. Tapi kenapa dia tak mau mengungkapkannya?. Cinta itu nggak bisu.. harusnya dia mengatakan perasaannya.
Terlambat..
“itu beneran cowok kamu?” Tanya Desi
“iya! eh maksudku bukan..!” jawab Pinkan
“kamu masih sayang rangga kan?” tambah Desi
“nggak mungkin lah. Dia kan cowok kamu!”
“hemmm bohong!”
“beneran des.”
“udah sih pink, jujur aja. Kapan sih kamu belajar dewasa?. aku sama rangga nggak ada hubungan apa-apa kok. Dia masih menunggu kamu. dia juga masih sayang sama kamu. dia minta aku berpura-pura jadi pacarnya, Cuma modus kok! dia Cuma ingin tahu, apa kamu bener nggak sayang dia?”
“maksud kamu?”
“aku nggak pacaran sama rangga. Dia sekarang nunggu kamu di taman. Katakan yang sebenarnya jika kamu sayang sama dia.”
(****)
Pinkan pun beneran pergi ke taman. Lalu dia ikutin saran Desi. Bukan kah cinta itu nggak bisu?.
“aku masih sayang kamu!”
Rangga pun tersenyum. Ternyata kali ini Pinkan benar-benar menghilangkan Egois dan Cueknya itu. Dia berani mengatakan yang sebenarnya dia rasakan.
Siapa hayoo yang belum mengungkapkan cintanya? ayolah tak usah gengsi dan malu. Karena cinta itu nggak bisu loh!
semangat!!!

Rabu, 23 Maret 2016

dadah, kiboo. dadah! :')

kiboo, ya sebut saja begitu, bayi musang yang baru belajar berjalan dengan mata yang masih tertutup dan tubuh yang belum begitu kuat. satu minggu pertama pertemuan kami, kami saling mengenal satu sama lain, kiboo yang selalu berteriak dikala perutnya merasakan lapar, pun aku yang selalu ingin bermain denganya walau dia sedang dalam keadaan mengantuk, kami berusaha untuk saling mengerti satu sama lain, sampai bertemu di minggu kedua, kiboo mulai membuka matanya dan melihat indahnya dunia, melihatku, melihat daerah sekelilingnya, bahkan melihat pantulan wajah lucunya didepan cermin. ya, selamat datang di dunia kiboo kecilku.

***

"kiboo, waktunya mam, bismillah, aaaa" ucapku sambil mendekatkan ujung pipet kearah mulutnya dengan hati-hati.
"nah, gitu dong pinter deh kiboo" ucapku, selalu, setelah kiboo menghabiskan satu piring penuh bubur bayi yang kubuatkan khusus untuknya. satu bulan bersama, kita semakin dekat, berjalan bersama, pergi ke tempat-tempat seru, setiap minggu, dari mulai siang sampai malam gelap.
"kiboo, waktunya tidur, muah!" ucapku, setiap malam, tanpa henti, tanpa jeda. seakan mengerti, kiboo menengok kearahku dan menatap tajam, seolah berkata; "iya, selamat tidur juga qi." iya, mungkin.

***

"kamu apa lagi sih semua dipelihara semua dipelihara!" ucap seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. ya, itu ayahku.
tak mudah memang, tak semua orang tua suka melihat anaknya memelihara hewan 'aneh' atau bahkan sampai membawahnya masuk kedalam rumah. tak semua orang tua bisa mengizinkan hal seperti itu, tapi aku percaya, kiboo adalah bagian dari keluargaku.
satu minggu pertama, ayah hanya melihat dan tidak pernah sedikitpun menyentuh kiboo, sedikitpun. sampai akhirnya, entah karna apa, mungkin dia melihat kebersamaanku dengan kiboo yang selalu seperti "orang gila" bagaimana tidak? aku berbicara dengan hewan, setiap saat, seakan kiboo adalah anak kecil berwajah lucuk dengan gigi yang baru tumbuh sebagian. tapi entahlah aku tidak peduli, aku yakin kiboo mengerti semua pembicaraanku padanya.

***

satu bulan pertama, semuanya terlihat bahagia, kiboo mulai bisa melihat jelas dan selalu bercanda setiap saat, bahkan sampai menggigit apapun yang menghalangi jalannya, sampai akhirnya semuanya terhenti pada malam itu, malam dimana kiboo mendadak mengalami kejang hebat, badanya gemetar dan kepalanya menunduk, entah kenapa, awalnya, tidak, bukan awalnya, dua menit sebelumnya, dia masih normal dan biasa saja. pusing? bingung? tentu saja, sangat bingung, searching kesana-kesini tanpa hasil sama sekali, akhirnya kiboo kembali normal dengan sendirinya beberapa jam setelah kejang hebatnya. mungkin saja kiboo lapar? mungkin, mungkin saja kiboo kedinginan? mungkin, mungkin saja kiboo terlalu lama di dalam tas? mungkin, iya, mungkin mungkin dan mungkin, semua hanya mungkin yang tak kunjung menjadi kepastian.
malam itu juga kiboo kembali terlihat sehat. ya, hanya terlihat. semacam sebuah sakit bernama epilepsi, kiboo selalu mengalaminya sesaat, lalu sembuh lagi, begitu terus sampai kira-kira seminggu. setiap waktu, kuhabiskan untuk searching tentang apa yang mungkin kiboo alami, banyak referensi obat yang tertulis, tapi tidak satupun yang berhasil.
"kiboo, kuat ya, kiboo kuat!" ucapku saat kondisi kiboo semakin memburuk, dari makan lahap, sampai muntah terus-menerus. dari setiap saat lari-larian, sampai setiap waktu hanya dihabiskan dengan tidur. entah apa yang harus dilakukan saat itu sampai akhirnya, malam itu yang entah hari apa, kiboo mengalami kejang yang amat parah, kuangkat kiboo dan kutemani dia diatas kasur, memberi semangat yang entah dia pahami atau tidak; "maaf kiboo, maafin aku nggak becus ngerawat kiboo, maaf aku jahat sama kiboo, kiboo semangat dong, ayo semangat, katanya mau gathering bareng muldok, katanya mau ketemu temen-temen kiboo? ayao semangat!" ucapku saat itu, ya, sepertinya kiboo mengerti kali ini, wajah lemasnya yang menghadap kearahku, matanya yang terlihat layu, perlahan membasah dan meneteskan air mata.

***

"mas, musangnya sakit? coba kasih obat, saya ada referensi dari dokter, musang saya dulu begitu dan sekarang sembuh" tiba-tiba handphoneku berbunyi dan isinya terlihat seperti suatu pesan singkat yang dikirim oleh malaikat diatas sana, bagaimana tidak? disaat seperti ini ada suatu pesan yang memberikanku cara dan nama obat yang harus dibeli di apotek terdekat.
kembali ke kiboo, setelah itu sesaat sebelum pesan singkat itu masuk ke handphoneku, perlahan kiboo membaik, semangat? ya, aku percaya kali ini kiboo mengerti dan menunjukan semangatnya untuk sehat dan tumbuh besar bersamaku. iya, tumbuh besar. pukul 02:16 malam, apotek pasti sudah tutup, tapi aku paksakan untuk tetap mencarinya, demi kiboo, demi kiboo!

***

"waktunya minum obat, kiboo lucuk!"
siang itu, 5 hari setelah malam dimana kiboo mengalami kejang hebat. kiboo kembali normal, kembali semula, berkat obat yang disarankan oleh 'mbak malaikat' yang tengah malam begitu mengirimku pesan singkat. kiboo sembuh, tapi tidak sepenuhnya, sesaat setelah sembuh dari sakitnya, kiboo sangat membutuhkan cahaya matahari, sedangkan kiboo adalah hewan nokturnal yang menghabiskan waktu dimalam hari, mau tidak mau, dokter yang menangani kiboo juga bilang bahwa sakit yang dialami kiboo ini bisa sembuh, tapi tidak tanpa efek samping: sembuh dengan keadaan lumpuh ( karna kurang sinar matahari ) atau sembuh dengan katarak atau tidak dapat melihat ( karna terlalu sering terpapar cahaya matahari ) tentu saja aku memilih pilihan kedua, karna katarak pada musang masih bisa disembuhkan.
yup, kiboo sembuh namun tidak lagi bisa melihat, hari harinya dihabiskan dengan mencium, kiboo bisa berjalan meraba dengan penciumanya, terlihat normal, hanya matanya saja yang berwarna putih, menerima? tentu saja, sampai dokter berterima kasih padaku karna merawat kiboo dengan baik dan tidak membuangnya ketika sakit, seperti maaf, owner sampah yang hanya menginginkan peliharaanya dalam meadaan sehat.

***

"selamat pagi kiboo, mam yuk mam, abis itu bobok, nanti aku pulang kuliah kiboo mam lagi"
mungkin dia mendengar dan mencium bau tubuhku yang sudah ia kenali, setiap aku turun dari kasur kiboo seakan melihat kearahku sampai aku membuka kandang dan ia meraih tanganku lalu berjalan naik sampai ke pundak. anteng, iya anteng, setiap pagi selalu berlari ke pundak, lalu mengacak-acak rambut, bahkan sampai menciumi pipi. setelah makan, dia kembali ke kandangnya, menungguku mengucapkan: "tidur boo, nanti siang makan!" lalu kemudian ia tidur, ya, kiboo benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. beberapa hari kemudian, dokter menyarankan obat mata dengan merk "erlamycetin" untuk penyembuhan matanya, baiklah, kalo bisa bikin kiboo sembuh, kenapa enggak? pikirku saat itu. sesaat setelah membeli obat tersebut, aku membaca aturan pakai dan tertulis: sesaat setelah ditetes, mata akan merasakan seperti terbakar. terbakar, terbakar, terbakar. satu kata itu berputar-putar, seakan memberiku pertanyaan: "lo tega, qi? tega lo? hah?" akhirnya, bagian menetes mata semua diserahkan kepada ayahku, karna mungkin dia lebih tega dan mengerti cara mengambil hati kiboo untuk diam saat diteteskan matanya. 2 minggu kemudian, setelah menderita karna harus merasakan perih sehari dua kali, kiboo mulai mengalami perubahan dengan matanya, matanya kembali berwarna hitam dan bisa melihat, walaupun belum jelas, tapi bisa melihat. kiboo sehat, yeay!

***

"makan dong, hey, kiboo, makan plis plis ayo makan dong" ucapku malam itu, 8 hari yang lalu sepertinya. dua minggu setelah kiboo kembali sehat dan ceria tiba-tiba kiboo tidak mau makan, menolak setiap disuapi, entah kenapa, tiba-tiba seperti itu.
mungkin belum lapar? ya, mungkin belum lapar. 8 jam kemudian, kembali kucoba untuk memberinya makan, dia tetap menolak. ya, mungkin belum lapar. 8 jam kemudian lagi, tetap tidak mau makan. badanya terlihat semakin kurus dalam waktu singkat, akhirnya kuambil tindakan untuk sedikit memaksanya menelan makanan. terus, setiap hari begitu. semakin menolak, semakin menolak, dan semakin menolak. bukan soal dipaksa atau memaksa, jika menuruti keinginanya dia akan sakit karna kurang makan. jika dipaksa terus menerus, kalian pasti mengerti bagaimana rasanya dipaksa makan saat tidak ingin makan. lalu bagaimana? iya, aku yakin kiboo kuat, aku yakin kiboo mengerti yang aku ucapkan. mengapa? karna setiap aku memohon, perlahan kiboo membuka mulutnya.

***

"kiboo, waktunya mam, aku abis beli pisang baru nih enak, mam yuk!"
ucapku tadi siang, ya, baru sekali tadi siang. kuangkat kiboo dari kandangnya dan seperti biasa, sedikit memaksanya untuk makan. seperti biasa, setelah makan, kiboo berlari ke pundakku dan tidur pulas.
pukul 03:13 kiboo kembali kekandang, meminta keluar, namun aku menolaknya sambil berkata: "sebentar ya kiboo, aku makan dulu, abis makan kita main ya, kita main!" kiboo diam, lalu tertidur. selesai makan, kutengok kandangnya, masih tertidur, ku colek dan memanggil namanya: "boo, mau main nggak?" sepertinya sangat mengantuk dan hanya melihat keatas tanpa meraih tanganku.
"yaudah kiboo tidur deh, nanti kita main ya sore, aku janji kita main!"

***

"kiboo, maaf gapernah becus ngerawat kamu, maaf selalu lakuin hal yang kiboo gasuka, maaf selalu maksa hal yang kiboo gamau, maaf, aku cuma mau kiboo sehat, nggak lebih, maaf kiboo maaf ;')"

entah harus bicara apa lagi, setelah melihat semangat seekor musang kecil yang selalu berusaha melawan sakitnya, berkali-kali, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, sampai akhirnya dia berhenti sore ini.
shock berat, ya, sangat kaget. janji nanti sore main, janji nanti sore main, janji nanti sore main. kiboo, ayuk main kiboo, kiboo bangun! ;')

waktunya mam kiboo, waktunya mam.

selamat pagi kiboo!

hei lucu, main yuk!

aduh takit, jangan gigit aku ampun.

kata-kata yang mungkin aku rindukan, yang mungkin akan selalu terbayang setiap harinya.

Ayah bilang: udah jangan ditangisin, kiboo udah cukup kok buktiin semangatnya, udah, biar dia istirahat, ikhlasin, biar tenang.

Ibu bilang: udah gapapa ikhlasin, kasian kalo begitu terus malah dia kesiksa, biar dia istirahat.

Kakak bilang: kiboo, sehat ya disana, dadah kiboo.

ya, tiga orang yang awalnya sangat menolak kehadiran kiboo, pada akhirnya luluh setelah melihat tingkah kiboo setiap harinya, dan kemudian menerima kiboo sebagai bagian keluarga. bahkan ayah, yang menggali makan kiboo tadi sore. dadah kiboo, dadah! ;')



Jumat, 11 Maret 2016

mendekati sebuah perpisahan kita

"bangku depan yang memang mencintai kebersamaan & ketenangan , dan bangku belakang yang memang mencintai kebersamaan dan canda tawa . bangku depan yang mayoritas adalah anak-anak berprestasi , dan bangku belakang yang mayoritas adalah anak-anak yang nakal . perbedaan itulah yang membuat kita semakin terpecah bahkan menimbulkan permusuhan."

itu memang fakta yang terlihat di antara kita semua .

sandiwara putih abu-abu ini akan segera mendekati kata "LULUS"

dan mungkin yang ada di pikiran kalian adalah perpisahan . but actually it's not a really good bye :) akhir adalah masa awal dimana kita akan membuka kehidupan yang sebenarnya .

kebersamaan kita indah , tak ada yang tak indah dalam CATATAN AKHIR SEKOLAH

sebuah pertemuan , perkenalan , pertemanan , persahabatan , percintaan , bahkan permusuhan dan kebencian  mengiringi perjalanan kisah kita disini , di sekolah ini .

dunia dan masa yang tak akan pernah kita lupakan , masa penuh perbedaan , penuh kenangan , penuh estetika .. yaitu putih abu-abu .

ingatkah kalian ketika kita tak ingin mendengar apa yang harusnya kita dengar ?

ingatkah kalian ketika kita tak mau menulis apa yg seharusnya kita tulis ?

ingatkah kalian ketika kita tak mau membaca apa yg seharusnya kita baca ?

ketika para bangku belakang sibuk sendiri dengan canda tawa kita di waktu pelajaran bahasa inggris berlangsung
ketika para bangku depan serius memperhatikan pelajaran matematika

ketika para teman laki-laki tak serius di pelajaran fisika

ketika para teman laki-laki heboh melihat "BU CANTIK" melintas di depan kelas

ketika para bangku belakang berkata , "KENAPA HARUS BANGKU BELAKANG ?" di saat wali kelas tercinta
menjadikan para bangku belakang menjadi sasaran empuk kemarahan beliau ketika keramaian ada di kelas kita

ketika para bangku belakang yang selalu dengan slogannya , " WHAT'S WAAWW .. PREETTT" , "BOCHOOORR BOCHOOORR" , "GAK MAU KOOOKK" , "IYO NEG AKU GELEM" , dll .

ketika para bangku depan serius dengan pelajaran agama dan proposal , dan kita para bangku belakang terlelap di alam mimpi masing-masing

ketika para bangku belakang banyak di berurusan dengan BP

ketika para bangku belakang tidur masal di Lab multimedia

dan kenangan-kenangan kita yang lain yang tak cukup bila hanya di tuangkan dalam kata-kata.

semua itu adalah hobi yang dulu kita lakukan semasa di bangku putih abu-abu . apakah kalian akan mengenangnya ?

sebentar lagi tak akan lagi terdengar suara rame kelas kita ,,
nyanyian-nyanyian kita , canda tawa kita ..

suara kemarahan dari bu nunu anita , "TERLAMBAT MULU NIH ANAK ATU!" , "LARI 5 PUTERAN!"

Suara teriakan pak margianto, "SOLAT, SOLAT AYO CEPET SOLAT!"

suara khas dari pak ridwan saat menjelaskan soal un tahun lalu, "ya, jadi jika x bertemu dengan y jadinya.."

dan guru-guru lainnya yang selalu memiliki kesan tersendiri ketika mengajar kita .

indah , indah , dan indah .. itu yang terekam jelas dalam benak ini

Persahabatan kita indah lebih dari sekedar indah yang telah menjadi darah abadi di tempat ini

Dan biarkan kami membuat alasan dimana engkau dapat tersenyum manis disana nantinya

Terimakasih untuk segalanya ....

pelajaran yang pernah engkau ajarkan indah penuh makna , penuh warna , dan penuh estetika dalam perjalanan 3 tahun masa putih abu-abu ini

teman adalah segalanya , karena jika tak ada teman .. kenangan ini tak mungkin ada untuk kita semua :)

masa smk kita punya cerita
tentang tawa , airmata , permusuhan , dan
yang paling penting adalah cinta
masa smk kita adalah
masa dimana kita bisa tertawa & menangis bersama
masa dimana kita bisa bermusuhan karna perbedaan
masa dimana kita tak pernah bersenang-senang sendiri
dan .. meja , kursi , papan , dan kelas ini
menjadi saksi bisu perjalanan hitam putih 3 tahun masa smk ini
dimana nanti kita akan merindukan semua canda tawa itu
kenanglah semua ini dalam senyuman kawan
karna tak ada aku , tapi kita:)

Rabu, 27 Januari 2016

Teruntuk kamu yang selalu ada disampingku

Ini malam kedua belas sejak terakhir kita bertemu. Namun terasa seperti selamanya. Sedangkan waktu bersama kamu, seperti durasi selamanya dibagi selamanya lalu diakarkan dengan selamanya. Lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan seekor Hummingbird untuk melancarkan satu kepakan sayap.

Januari boleh berlalu. Namun sebelum januari yang baru datang, aku tetap merasa seperti baru jatuh cinta. Jika ada ceruk cawan terbesar dari langit, maka akan retak untuk menampung rindu yang beringas ini. Jika ada awan yang pantas menurunkan hujan paling romantis, maka dia akan gigit jari mendengar setiap doa lirih yang di dalamnya terselip namamu.

Satu hal paling aku benci dari pertemuan kita adalah debar di dada yang rasanya seperti baru pertama jatuh cinta. Satu hal paling berat ketika bertemu kamu adalah pada saat perjalananku pulang kembali ke bumi. Bumiku yang tanpa kamu.

Dari dalam sini terlihat hujan deras. Jika orang-orang bersuyukur tetap di bawah atap, sedang kepalku harus bergemeretak karena diri ini tak dapat menjangkaumu dalam dekap.

Jarak.

Jarak ada untuk ditempuh. Bukan untuk dikeluh karena jauh.

Aku selalu percaya semua yang indah tak pernah bisa didapat dengan mudah. Semua yang berarti, menuntut untuk korbankan diri. Kita, pergi ke arah yang berlawanan, bukan untuk menjunjung sebuah perpisahan. Kita hanya sedang memantaskan. Kita harus mencoba mengarungi belantara sendiri. Menghadapi masalah yang rumit dengan kemampuan diri.

Bersamamu, segalanya terasa lebih mudah. Pasti.

Namun aku selalu ingat apa yang hidup ajarkan, yang selalu ayah katakan,

“Kita tak bisa selalu mendapatkan apa yang kita mau di waktu yang kita inginkan. Tuhan lebih tahu. Doamu bukan tidak dikabulkan, hanya saja digantikan dengan yang lebih indah, atau disimpan sampai waktu yang lebih indah.”

Aku selalu percaya waktu itu akan datang. Waktu di mana kita menghadapi kerasnya dunia bersama. Waktu di mana kita bisa menari di bawah hujan bukannya menunggu badai reda. Waktu di mana aku merasa baik-baik saja ketika genggam tanganmu ada.

Layaknya sebuah mutiara, aku harus menyelam lebih dalam untuk mendapatkan keindahannya. Maka aku mengerti. Selagi aku terus ditempa dunia, aku tetap harus menghadap ayahmu, mengajaknya bicara, mendekatinya. Karena apa? Aku harus sehebat, setenang, dan semengerti beliau dalam menghadapimu.

Karena jika aku tak sesayang ayahmu, aku tak layak untuk duduk berdua denganmu mengenakan tudung putih bersandingan, menjabat tangan beliau, mengucap nama kamu, mengambil alih tanggung jawabnya untuk membahagiakanmu.

Percayalah, aku sanggup.

Kita hanya perlu bersabar.

Ketahuilah satu hal. Jarak dan waktu antara kita besarnya tidak pernah melebihi rasa sayang yang ada.

Minggu, 03 Januari 2016

bu, istirahatlah sebentar.

“Tolong jangan ambil nyawaku.Sebelum mereka tampak mapan mengarungi hidup ini.” Lirih do'a Ibu, yang samar aku dengar setiap malamnya, membuat aku tak kuasa menahan tangis. Ia tetap tampak cantik di usianya yang lanjut. Indah dalam balutan mukena yang walau sudah usang.

***

Perjuangan seorang ibu, adalah suatu hal yang paling aku banggakan. Berusaha sekuat tenaga meredam semua impian anaknya lewat bakul kuenya, entah, sudah berapa banyak langkah yang telah ia tempuh, berapa jarak jauhnya dalam melangkah, meniti sebuah perjuangan dalam hidup.Terkadang bunyi kemericik minyak goreng di waktu mendekati subuh sudah menjadi santapan kami anak-anak yang masih tertidur pulas dengan mimpi indah semu. Kadangkala, bunyi itu menghilang, bahkan nyaris tidak terdengar, namun bukan berarti berhenti dalam pekerjaannya, melainkan menyiapkan kembali adonan untuk kue berikutnya dengan jenis yang berbeda. Aku termenung dalam kepedihan hati, jika ada satu kalimat yang pantas aku ucapkan, pastilah kalimat itu adalah “Bu, istirahatlah dulu sebentar,. Biarkan matamu terpejam walau hanya sesaat..” Beban hati itu tak dapat aku utarakan, apakah karena kelemahan hati ini yang tersakiti karena beban hidup yang begitu besar, dengan merelakan tangan tua keriput itu berpadu dengan adukan kue dan gagang penggorengan yang menjadi teman setia ibu dalam mengabdikan diri bagi anak-anaknya tanpa pamrih dan tidak bisa dibayar dengan apapun selain senyum kami sebagai anak-anakmu. Aku terbangun dengan kepedihan hati dan keresahan jiwa, namun tidak dengan ibu, yang selalu menunjukkan kekuatan paginya dengan segelas teh hangat, beberapa kue gemblong buatannya dan seember air semangat yang selalu menemaninya disisi kamar ini. Jika ibu merasa ngantuk, pastilah dicelupkan kedua kakinya diwadah yang sudah diisinya air, sehingga rasa ngantuk terdalampun bisa teratasi. Betapa besarnya pemberian bagi anak-anakmu demi selembar uang kertas yang dinilainya mampu kujadikan senjata ampuh untuk menggenggam harapan yaitu menuntut ilmu. Merasakan yang tersulitpun tetap dirasakannya indah meskipun tangan kaki bahkan tubuh yang mulai gemetar menembus pagi seperti layaknya burung yang tidak pernah tertahan untuk terbang meskipun angin dan hujan menerpa. Yang tertinggal dalam hatiku jika melihat wajah ibu mulai lemas dan tangannya mulai bergetar hebat karena batas letih yang ia rasa, aku hanya bisa berlutut dan berdoa, “Tuhan, berikanlah ibu kesehatan..selalu, dan selamanya...”.

***

“Nang, sarapan dulu..”. Itu suara indah yang kudengar setiap paginya. Dengan sisa tenaga yang masih dia sisakan, ia sediakan beberapa kue gemblong dan teh hangat di atas ubin ruang tamu yang mungkin bagi kalian tampak begitu sempit, tapi bagi kami, inilah istana kami. Tempat kami tinggal, penuh cinta dan kasih sayang. Ia mulai mengangkat bakul kuenya, ketika dia pastikan kami sudah pergi meninggalkan rumah. Dengan sorot matanya yang aku tafsir berat melepas kami, tapi dengan lambaian tanganya ia hantarkan kami dengan doa tulusnya. Walaupun keraguan hebat di dalam hatinya terpancar kuat dalam senyum indahnya, seakan mengisyaratkan keletihan jiwa untuk selalu menemaniku hingga kami benar-benar menjadi seperti apa yang dia harapkan. Tetesan air matanya menebus rona jiwa dan sisi-sisi alamku, ketika harus melepaskan kami untuk berjalan sendiri menyusuri dusun kecil dikampung, entah menuju kemana yang pasti kepercayaan penuh demi cita-cita kami. Sepenggal harapan yang selalu dia sematkan yakni menjadi orang yang “rendah hati” dapat kami jadikan semangat menyusuri hidup yang tidak pernah diketahui maknanya. Aku-pun hanya berharap bahwa Ibu akan baik-baik saja dan menemukan kebahagian dari Dia yang empunya kehidupan ini.

***

Ayah, andai saja kau masih hidup. Mungkin ibu tidak akan seletih ini. Berjuang sendirian menghadapi kehidupan yang semakin sulit. “Kumohon Tuhan, kembalikan ayahku, turunkan ia untuk menemani ibuku”. Meski aku sadar bahwa doa itu mustahil untuk dikabulkan, tak henti-hentinya aku meminta. “Aku hanya ingin ibu bisa istirahat yah...”.Kusapu air hangat yang mengalir dipipi saat ibu membuka matanya terbangun karena suara ringikan tangisku. Ia membelai wajahku, sunyi tanpa kata. “Ibu, cepatlah sembuh..” Bulan depan aku Wisuda.. katanya ibu mau lihat aku jadi insinyur..” iring senyuman lirihku menahan pedih tangis dalam hati. Dan,. rasa bahagia mendalam merasuk ke dalam lubuk jiwaku saat melihat garis senyum di bibirnya. Satu momen yang tak pernah aku rasakan semenjak tiga bulan yang lalu.

***

Bu, lihat anang sekarang sudah jadi insinyur. Anang akan jadi orang besar bu. Anang janji. Ibu tidak usah repot lagi buat kue untuk dijual, karena anang akan jadi orang besar bu, anang akan jadi orang Kaya. Aku tak peduli walau tampak seperti orang gila. Berbicara pada gundukan tanah yang basah karena hujan. Aku tak peduli seberapa kotor bajuku, memeluk tanah dan berkali-kali ku ciumi. Dengan berat aku meninggalkannya, kusisipkan topi Toga diatas kayu tua bertuliskan namanya. “Ibu harus percaya, anang sudah jadi insinyur bu... sekarang ibu bisa istirahat.... anang akan jadi orang besar bu...”

Untuk setiap peluh keringatmu

Untuk setiap tetes tangis doamu

Untuk setiap senyum tulusmu

Untuk setiap kasih sayangmu

Ijinkan kami berkata,

Aku sayang kamu, Ibu.